Kamis, 03 Maret 2011

Turonggo Mego Budoyo

Hadir Melengkapi Pelestari Budaya
Seni Jaranan, salah satu kesenian asli Kediri yang lagir terkait sejarah keberadaan kerajaan di Kediri saat ini harus dipertahankan jangan sampai punah dan jangan sampai kesenian jaranan diaku pihak lain, terutama dari luar negeri. 
 Hadirnya Seni Jaranan Turangga Mega Budayo dari Desa Sumberejo Kecamatan Ngasem Kediri diharapkan dapat menjadi penampung generasi muda yang berjiwa seni dan peduli kelestarian seni budaya asli Kediri, khususnya warga setempat.

Kediri, hapraindonesia - Kesenian jaranan, dari masa ke masa mengalami perpembangan pasang surut. Saat ini kesenian jaranan telah menyebar dan layah sebagai hiburan berbagai keperluan yaitu dari kegiatan ‘bersih desa’ hingga untuk hajatan khitanan maupun manrten.
 Kalau ada pertanyaan, apakah kesenian jaranan seperti Turangga Mega Budaya dan lainnya adalah jenis kesenian baru dan berkembang sebagai kesenian jenis tontonan yang mengandung unsur magis ? mungkin jawabnya adalah Kesenian Jaranan adalah semi yang telah lama adanya.
 Seperti data yang dihimpun Hapra Indonesia dari berbagai sumber, Seni jaranan ternyata mulai muncul sejak abad ke 10 Hijriah. Tepatnya pada tahun 1041. atau bersamaan dengan kerajaan Kahuripan dibagi menjadi 2 yaitu yaitu bagian timur Kerajaan Jenggala dengan ibukota Kahuripan dan sebelah Barat Kerajaan Panjalu atau Kediri dengan Ibukota Dhahapura.
 Raja Airlangga memiliki seorang putri yang bernama Dewi Sangga Langit. Dia adalah orang Kediri yang sangat cantik, sehingga tak heran saat itu banyak sekali yang terpikat dan melamar, maka Dewi Sangga Langit mengadakan sayembara.
 Para pelamar yang ingin menjadikan Dewi Sangga Langit (Songgo Langit) semuanya sakti dan memiliki kekuatan olah kanuragan ataupun ilmu yang tinggi. Dewi Songgo Langit sebenarnya tidak mau menikah dan dia Ingin menjadi petapa saja. 
 Prabu Airlangga memaksa Dewi Songgo Langit Untuk menikah. Akhirnya dia mau menikah dengan satu permintaan. Barang siapa yang bisa membuat kesenian yang belum ada di Pulau Jawa dia mau menjadi suaminya.
 Diantara yang ‘kepuncut’ atau tertarik dan ingin menikahi Dewi Songgo Langit adalah Klono Sewandono dari Wengker, Toh Bagus Utusan Singo Barong Dari Blitar, Kalawraha seorang adipati dari pesisir kidul, dan 4 prajurit yang berasal dari Blitar. 
 Untuk dapat mempersunting Dewi, mereka berangkat menuju Kediri untuk mengikuti sayembara dan berharap akan menjadi pemenangnya. Mereka-pun bertemu dijalan dan bertengkar dahulu sebelum mengikuti sayembara di kediri. Dalam peperangan itu dimenangkan oleh Klana Sewandono atau Pujangganom. 
 Dalam peperangan itu Pujangganom menang dan Singo Ludoyo kalah. Pada saat kekalahan Singo Ludoyo itu rupanya singo Ludoyo memiliki janji dengan Pujangganom. Singa Ludoyo meminta jangan dibunuh. Pujangganom rupanya menyepakati kesepakatan itu. Akan tetapi Pujangganom memiliki syarat yaitu Singo Barong harus mengiring temantenya dengan Dewi Sangga Langit ke Wengker.
 Singkatnya, Dewi Songgo Langit dalam iringan pengantin meminta diiringi oleh jaran-jaran dengan melewati bawah tanah dengan diiringi tetabuhan  alat musik yang berasal dari bambu dan besi. 
 Tentang iringan musik jaranan sekarang, alat dari besi dan dari bambu tetap digunakan, yaitu kenong dan terompet.  Sedang jika di napak tilas perjalanan jaranan, lokasi jperjalanan mengiringi temantenya Dewi Songgo Langit dengan Pujangganom itu.
 Yang saat itu Singo Ludoyo beranggapan bahwa dirinya sudah sampai ke Wengker, tetapi ternyata dia masih sampai di Gunung Liman. Dia marah-marah pada waktu itu sehingga dia mengobrak-abrik Gunung Liman itu dan sekarang tempat itu menjadi Simoroto.
 Akhirnya sebelum dia sampai ke tanah Wengker dia kembali lagi ke Kediri. Dia keluar digua Selomangklung. Sekarang nama tempat itu adalah selomangkleng.
 Karena Dewi Sonmggo Langit sudah diboyong ke Wengker oleh Puijangganom dan tidak mau menjadi raja di Kediri, maka kekuasaan Kahuripan diberikan kepada kedua adiknya yang bernama Lembu Amiluhut dan Lembu Amijaya. Setelah Sangga Langit diboyong oleh Pujangganom ke daerah Wengker Bantar Angin, Dewi Sangga Langit merubah nama tempat itu menjadi Ponorogo
 Menelisik sejarah perjalanan tersebut, nyatalah bahwa seni jaranan usianya lebih tua dibanding dengan kesenian Reog Ponororo yang sejarahnya juga tak dapat dipisahkan dengan Kediri.
 Sejak saat itu, untuk mengenang perjalanan saat boyongan ke Wengker, Dewi Sangga Langit dan Klana Sewandana dikarak oleh Singo Barong. Pengarakan itu dilakukan dengan menerobos dari dalam tanah sambil berjoget. maka secara turun temurun dipertahankan.
 Jadi keberadaan kesenian jaranan adalah upaya leluhur mengenang sayembara yang diadakan oleh Dewi Songgo Langit dan Pernikahanya dengan Klana Sewandono atau Pujangga Anom inilah masyarakat kediri membuat kesenian jaranan. 
 Sedangkan di Ponorogo Muncul Reog. Dua kesenian ini sebenarnya memiliki akar historis yang hampir sama. Seni jaranan ini diturunkan secara turun temurun hingga sekarang ini. 
 Karena menilik bagaimana sesungguhnya seni jaranan ada, maka perlu dilestarikan dan dipertahankan, jangan sampai ada yang mengaku bahwa seni jaranan milik para penjiplak, khususnya dari luar negeri seperti yang dialami Seni Reog Ponorogo yang di klaim milik penjiplak.
 Seni jaranan, sebuah pentuk kesenian tontonan, dalam aksi pertunjukkan  penari bakal terus menunggang kuda kepang dan bertingkah seolah-olah si jaran kepang hidup. Awalnya semua menari teratur dan bergoyang seperti kuda mengikuti ritme musik. 
 Setelah beberapa saat, mendadak penari kesurupan dan mulai seperti kerasukan kuda. Mereka berlari, melompat, dan berperilaku sama dengan kuda. Ada yang cukup kalem, tapi kebanyakan jadi liar. Mereka meminum banyak air, menelan daun pisang, kembang, dan gabah, layaknya kuda sungguhan.
 Dalam perkembanganya kesenian jaranan kita akui telah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan kondisi social masyarakat yang sudah berubah dalam memaknai dan mengambangkan jaranan. dari tahun-ke tahun jaranan mulai berubah dari yang sifatnya tuntunan menjadi tontonan dan yang paling menarik adalah jaranan sebagai alat untuk menarik simpatisan dan untuk pengembangan pariwisata.
 Saat digelar kampanye pencalonan, tak jarang kandidat menghadirkan seni jaranan untuk mendatangkan masa. Hal ini karena musik jaranan bertalu-talu terdengan dari kejahuan akan bisa menarik untuk hadir dan menyaksikan, sehingga kedatangan warga diharapkan bisa menambah ‘poin’ kandidat yang mengundang ketika detik-detik pemilihan berlangsung.
  Dinas Pariwisata dan ornamen dilembaga Bidang Kesenian yang ada, tentunya tak akan tinggal diam. Kesenian Jaranan adalah produk asli Kediri peninggalan para leluhur harus dipertahankan dan dikembangkan.
 Seni jaranan yang banyak bermunculan di kediri seperti Turangga Mega Budaya, misalnya. perlu adanya pembinaan dan pengarahan, hal ini karena seni jaranan yang memiliki nilai historis bisa dijadikan ‘suguhan’ wisata manca negara.
 Menurut salah seorang seniman Sandradekta Surabaya yang kini menetap di Kediri, mengatakan bahwa pada jaman Departemen Penerangan (Deppen) dan Bidang Kesenian masih satu atap, pembinaan kesenian sangat serius untuk disajikan sebagai tontonan kepada wisatawan.
 Hal itu karena saat itu untuk membina, mengarahkan dan menyalurkan kesenian tradisional ditangani dalam seatap. Ketika Deppen dan Bidang Kesenian berpisah, Depen saat itu (sekarang Kominfo-Red) masih menggunakan kesenian dengan bumbu propagandan pembangunan.
 Saat ini, Keberadaan Agus mantan Kepala Taman Budaya Jawa Timur selaku Kepala Dinas Pariwisata, dalam bidang kesenian bukan wajah baru dan sangat getol dalam membertahankan kesenian untuk ‘dijual’ sebagai produk sajian wisata.(Luh/Cahyo)


Info Pilihan

  © HAPRA INDONESIA Media Group ...Berani.Cerdas . Realistis

Ke : HALAMAN UTAMA